Selasa, 21 November 2017

Baju Bodo


BAJU BODO

SEJARAH BAJU BODO ( Salah Satu Baju Tertua di Dunia) 

BAJU BODO merupakan PAKAIAN TRADISIONAL perempuan bugis , Sulawesi Selatan Indonesia dan  merupakan salah satu baju tertua di Dunia ( sekali lagi kita boleh bangga dong..). Baju yang berbentuk persegiempat dan berongga besar pada lengannya ini, terbuat dari kain MUSLIN, yang merupakan hasil tenunan dari pilinan kapas yang ditenun dengan benang katun. Bentuk BAJU BODO sendiri  berbentuk baju kurung tanpa jahitan, bagian bawah terbuka, bagian atas berlubang seukuran kepala tanpa kerah. Bagian depan tidak memiliki kancing atau perekat lainnya, pada ujung atas sebelah kiri dan kanan dibuat lubang selebar satu jengkal. Lubang tersebut berfungsi sebagai lubang keluar masuknya lengan. Atas dasar inilah maka baju ini kemudian disebut sebagai baju Pokko, baju yang tidak memiliki lengan. Pada perkembengan berikutnya kata pokko berubah menjadi tokko.
Dalam versi lain,SEJARAH BAJU BODO disebutkan kata "TOKKO berasal dari kata takku, kata takku sendiri adalah ungkapan untuk menyatakan starata sosial bangsawan. Hal ini menilik pada kata Maddara Takku, yang menunjukkan seseorang yang memiliki darah keturunan bangsawan. Secara harafiah, baju tokko bisa diartikan sebagai baju untuk kaum bangsawan.
Berdasarkan catatan SEJARAH, yakni dalam catatan perjalanan seorang pedagang Arab pada abad ke IX, kain Muslin ini pertama kali dibuat dan diperdagangkan di kota Dhaka, Bangladesh. Di Yunani Kuno, kain ini dikenal dengan sebutan Maisolos, di India Timur dikenal dengan sebutan Masalia, dan di Arab dikenal dengan Ruhm. Pada tahun 1298 Masehi dalam bukunya The Travel of Marco Polo  menggambarkan kain muslin itu dibuat di Mosul, (Irak) dan dijual oleh pedagang yang disebut “Musolini”. Uniknya, masyarakat Sulawesi Selatan lebih dulu mengenal dan mengenakan jenis kain ini dibanding masyarakat Eropa, yang baru mengenalnya para XVII dan baru popular di Prancis pada abad XVIII.
Pada awal munculnya, BAJU BODO tidaklah lebih dari baju tipis dan longgar sebagaimana karakter kain Muslin. Tampilan BAJU BODO masih transparan sehingga masih menampakkan payudara, pusar dan lekuk tubuh pemakainya. Hal ini diperkuat oleh James Brooke dalam bukunya Narrative of Events, sebagaimna dikutip Christian Pelras dalam Manusia Bugis, mengatakan ;
“Perempuan [Bugis] mengenakan pakaian sederhana… Sehelai sarung [menutupi pinggang] hingga kaki dan baju tipis longgar dari kain muslin (kasa), memperlihatkan payudara dan leluk-lekuk dada.” 
Pada awal abad ke-19, Don Lopez comte de Paris, seorang pembantu setia Gubernur Jenderal Deandels memperkenalkan penutup dada yang dalam bahasa Indonesia disebut “Kutang” pada perempuan Jawa, namun sayang kutang ini belum populer di tanah Bugis-Makassar. Sehingga tidak janggal jika pada tahun 1930-an, masih banyak ditemui perempuan Bugis-Makassar memakai BAJU BODO/WAJU TAKKU tanpa memakai penutup dada. 

KONTROVERSIAL BAJU BODO

Ajaran agama Islam mulai menyebar dan dipelajari masyarakat di Sulawesi sejak Abad ke-V, namun secara resmi baru diterima sebagai agama kerajaan pada abad XVII. Ketatnya larangan kegiatan dan pesta adat menurut ajaran islam membuat baju bodo menjadi asing dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Kontroversi ini kemudian disikapi bijak oleh kerajaan Gowa, hingga muncullah modifikasi BAJU BODO yang dikenal Baju Labbu(serupa dengan BAJU BODO, tetapi lebih tebal, gombrang, panjang hingga lutut). Perlahan, BAJU BODO yang semula tipis berubah menjadi lebih tebal dan terkesan kaku. Jika pada awalnya memakai kain muslin (kain sejenis kasa), berikutnya BAJU BODO dibuat dengan bahan benang sutera Bagi golongan agamawan, adanya baju labbu ini adalah solusi terbaik, tidak melanggar hukum Islam dan juga tidak menghilangkan nilai adat. Maka, saat bermunculan BAJU BODO dengan berbagai model dan variasi, seperti yang terjadi saat ini, itulah bentuk konstruksi budaya manusia Bugis-Makassar saat ini. Kombinasi dan variasi BAJU BODO yang ada saat ini, terbukti mampu diterima oleh berbagai kalangan dan lapisan masyarakat. BAJU BODO tidak lagi sekedar pakaian adat, melainkan dapat dipakai diacara resmi, bahkan busana kerja.

asal usul baju 'bodo'

Sejarah Baju Bodo adalah pakaian tradisional perempuan Makassar. Dalam suku Bugis baju ini disebut Waju Tokko. Baju Bodo berbentuk segi empat, biasanya berlengan pendek, yaitu setengah atas bagian siku lengan. Dalam bahasa Makassar, kata “Bodo” berarti pendek. Baju Bodo atau Waju Tokko, sudah dikenal oleh masyarakat Sulawesi Selatan sejak pertengahan abad IX (pen), hal ini diperkuat dari sejarah kain Muslin, kain yang digunakan sebagai bahan dasar Baju Bodo itu sendiri. Kain Muslin adalah lembaran kain hasil tenunan dari pilinan kapas yang dijalin dengan benang katun. Memiliki rongga dan kerapatan benang yang renggang menjadikan kain Muslin sangat cocok untuk daerah tropis dan daerah beriklim kering. Kain Muslin (Eropa) atau Maisolos (Yunani Kuno), Masalia (India Timur) dan Ruhm (Arab), tercatat pertama kali dibuat dan diperdagangkan di kota Dhaka, Bangladesh, hal ini merujuk pada catatan seorang pedagang Arab bernama Sulaiman pada abad IX. Sementara Marco Polo pada tahun 1298 Masehi, dalam bukunya The Travel of Marco Polo, menjelaskan bahwa kain Muslin itu dibuat di Mosul (Irak) dan dijual oleh pedagang yang disebut “Musolini”. Uniknya, masyarakat Sulawesi Selatan sudah lebih dulu mengenal dan mengenakan jenis kain ini dibanding masyarakat Eropa, yang baru mengenalnya pada abad XVII dan baru populer di Perancis pada abad XVIII.
Sehingga tidak janggal jika pada tahun 1930-an, masih banyak ditemui perempuan Bugis- Makassar memakai Baju Bodo/Waju Tokko tanpa memakai penutup dada. Masuknya Islam dan Munculnya Baju La’bu Meski ajaran agama Islam sudah mulai menyebar dan dipelajari oleh masyarakat di Sulawesi sejak abad ke-5, namun secara resmi baru diterima sebagai agama kerajaan pada abad ke-17. Pergerakan DII/TII di Sulawesi juga berpengaruh besar pada perkembangan Baju Bodo saat itu. Ketatnya larangan kegiatan dan pesta adat oleh DII/TII, membuat Baju Bodo menjadi asing dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Larangan ini muncul mengingat penerapan syariat Islam yang diusung oleh pergerakan DII/TII. Tak pelak, pelarangan ini menjadi isu besar dikalangan para pelaku adat dan agamawan.
Dalam ajaran agama Islam ditegaskan bahwa, pakaian yang dibenarkan adalah pakaian yang menutup aurat, tidak menampakkan lekuk tubuh dan rona kulit selain telapak tangan dan wajah. Kontroversi ini kemudian disikapi bijak oleh kerajaan Gowa, hingga muncullah modifikasi baju bodo yang dikenal dengan nama Baju La’bu (serupa dengan Baju Bodo, tetapi lebih tebal, gombrang, panjang hingga lutut) Perlahan, Baju Bodo/Waju Tokko yang semula tipis berubah menjadi lebih tebal dan terkesan kaku. Jika pada awalnya memakai kain muslin, berikutnya baju ini dibuat dengan bahan benang sutera. Bagi golongan agamawan, adanya Baju La’bu ini adalah solusi terbaik, tidak melanggar hukum Islam dan juga tidak menghilangkan nilai adat.
Warna dan Arti Menurut adat Bugis, setiap warna Waju Tokko yang dipakai oleh perempuan Bugis menunjukkan usia ataupun martabat pemakainya. Anak dibawah 10 tahun memakai Waju Tokko yang disebut Waju Pella-Pella (kupu-kupu), berwarna kuning gading (maridi) sebagai pengambaran terhadap dunia anak kecil yang penuh keriangan. Warna ini adalah analogi agar sang anak cepat matang dalam menghadapi tantangan hidup. Umur 10-14 tahun memakai Waju Tokko berwarna jingga atau merah muda. Warna merah muda dalam bahasa Bugis disebut Bakko, adalah representasi dari kata Bakkaa, yang berarti setengah matang. Umur 14-17 tahun, masih memakai Waju Tokko berwarna jingga atau merah muda, tapi dibuat berlapis/ bersusun dua, hal ini dikarenakan sang gadis sudah mulai tumbuh payudaranya. Baju bodo  Juga dipakai oleh mereka yang sudah menikah tapi belum memiliki anak. Umur 17-25 tahun memakai Waju Tokko berwarna merah darah, berlapis/ bersusun. Dipakai oleh perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak, berasal dari filosofi, bahwa sang perempuan tadi dianggap sudah mengeluarkan darah dari rahimnya yang berwarna merah. Umur 25-40 tahun memakai Waju Tokko berwarna hitam. Waju Tokko berwarna putih digunakan oleh para inang/pengasuh raja atau para dukun atau bissu. Para bissu memiliki titisan darah berwarna putih, inilah yang mengantarkan mereka mampu menjadi penghubung dengan Botting Langi (khayangan), peretiwi (dunia nyata), dan ale kawa(dunia roh). Mereka dipercaya tidak memiliki alat kelamin, sehingga terlepas dari kepentingan syahwat.
Para putri raja, bangsawan dan keturunannya yang dalam bahasa Bugis disebut maddara takku (berdarah bangsawan) memakai Waju Tokko berwarna hijau. Dalam bahasa Bugis, warna hijau disebut kudara, yang berasal dari kata na-takku dara-na, yang secara harfiah berarti “mereka yang menjunjung tinggi harkat kebangsawanannya.” Waju Tokko berwarna ungu dipakai oleh para janda. Dalam bahasa Bugis, warna ungu disebut kemummu yang juga dapat berarti lebamnya bagian tubuh yang terkena pukulan atau benturan benda keras. Dalam pranata sosial masyarakat Bugis jaman dahulu, menikah dengan seorang janda merupakan sebuah aib. Cara Pakai dan Aksesoris Cara memakai Baju Bodo/Waju Tokko sangat mudah, layaknya seperti memakai t-shirt. Baju Bodo/Waju Tokko dikenakan dengan menggunakan bawahan Lipa’ Sa’be (sarung sutera) yang bermotif kotak- kotak cerah. Lipa’ Sa’be dipakai seperti memakai sarung yang kadang diperkuat dengan tali atau ikat pinggang agar tidak melorot. Pada bagian pinggang, Baju Bodo/Waju Tokko dibiarkan menjuntai menutupi ujung sarung bagian atas. Si pemakai biasanya memegang salah satu ujung baju bodo lalu disampirkan di lengan. Sebagai aksesoris, ditambahkan kalung, gelang panjang, anting, dan bando atau tusuk konde di kepala. Ada pula yang menambahkan bunga sebagai penghias di rambut. Selain untuk acara adat seperti upacara pernikahan, Baju Bodo/Waju Tokko saat ini juga dipakai untuk menyambut tamu agung dan acara lainnya seperti menari.

Dalam kitab Patuntung, ada aturan yang menyebutkan penggunaan warna khusus bagi tingkatan usia wanita yang akan mengenakan baju dodo ini. Aturan warna tersebut antara lain:
·         1. Warna jingga dipakai oleh perempuan umur kurang dari 10 tahun.
2. Warna jingga dan merah darah dipakai oleh perempuan umur 10 hingga 14 tahun.
·         3. Warna merah darah dipakai oleh untuk 17 hingga 25 tahun.
·         4. Warna putih dipakai oleh para inang dan dukun. Warna hijau dipakai oleh puteri bangsawan.
·         5. Warna ungu dipakai oleh para janda.

 
CONTOH GAMBAR BAJU BODO 





4 komentar: