BAJU BODO
SEJARAH BAJU BODO ( Salah Satu Baju Tertua di Dunia)
BAJU BODO merupakan PAKAIAN TRADISIONAL perempuan bugis ,
Sulawesi Selatan Indonesia dan merupakan salah satu baju tertua di Dunia
( sekali lagi kita boleh bangga dong..). Baju yang berbentuk persegiempat dan
berongga besar pada lengannya ini, terbuat dari kain MUSLIN, yang merupakan
hasil tenunan dari pilinan kapas yang ditenun dengan benang katun. Bentuk BAJU
BODO sendiri berbentuk baju kurung tanpa jahitan, bagian bawah
terbuka, bagian atas berlubang seukuran kepala tanpa kerah. Bagian depan tidak
memiliki kancing atau perekat lainnya, pada ujung atas sebelah kiri dan kanan
dibuat lubang selebar satu jengkal. Lubang tersebut berfungsi sebagai lubang
keluar masuknya lengan. Atas dasar inilah maka baju ini kemudian disebut
sebagai baju Pokko, baju yang tidak memiliki lengan. Pada perkembengan
berikutnya kata pokko berubah menjadi tokko.
Dalam versi lain,SEJARAH BAJU BODO disebutkan kata "TOKKO
berasal dari kata takku, kata takku sendiri adalah
ungkapan untuk menyatakan starata sosial bangsawan. Hal ini menilik pada
kata Maddara Takku, yang menunjukkan seseorang yang memiliki darah
keturunan bangsawan. Secara harafiah, baju tokko bisa diartikan sebagai baju
untuk kaum bangsawan.
Berdasarkan catatan SEJARAH, yakni dalam catatan perjalanan seorang
pedagang Arab pada abad ke IX, kain Muslin ini pertama kali dibuat dan
diperdagangkan di kota Dhaka, Bangladesh. Di Yunani Kuno, kain ini dikenal
dengan sebutan Maisolos, di India Timur dikenal dengan sebutan Masalia, dan di
Arab dikenal dengan Ruhm. Pada tahun 1298 Masehi dalam bukunya The
Travel of Marco Polo menggambarkan kain muslin itu dibuat di Mosul,
(Irak) dan dijual oleh pedagang yang disebut “Musolini”. Uniknya, masyarakat
Sulawesi Selatan lebih dulu mengenal dan mengenakan jenis kain ini dibanding
masyarakat Eropa, yang baru mengenalnya para XVII dan baru popular di Prancis
pada abad XVIII.
Pada awal munculnya, BAJU BODO tidaklah lebih dari baju tipis dan
longgar sebagaimana karakter kain Muslin. Tampilan
BAJU BODO masih transparan
sehingga masih menampakkan payudara, pusar dan lekuk tubuh pemakainya. Hal ini
diperkuat oleh James Brooke dalam bukunya Narrative of Events,
sebagaimna dikutip Christian Pelras dalam Manusia Bugis, mengatakan
;
“Perempuan [Bugis] mengenakan pakaian sederhana… Sehelai sarung [menutupi
pinggang] hingga kaki dan baju tipis longgar dari kain muslin (kasa),
memperlihatkan payudara dan leluk-lekuk dada.”
Pada awal abad ke-19, Don Lopez comte de Paris, seorang pembantu setia
Gubernur Jenderal Deandels memperkenalkan penutup dada yang dalam bahasa
Indonesia disebut “Kutang” pada perempuan Jawa, namun sayang kutang ini belum
populer di tanah Bugis-Makassar. Sehingga tidak janggal jika pada tahun
1930-an, masih banyak ditemui perempuan Bugis-Makassar memakai BAJU
BODO/WAJU TAKKU tanpa memakai penutup dada.
KONTROVERSIAL BAJU BODO
Ajaran agama Islam mulai menyebar dan dipelajari masyarakat di Sulawesi
sejak Abad ke-V, namun secara resmi baru diterima sebagai agama kerajaan pada
abad XVII. Ketatnya larangan kegiatan dan pesta adat menurut ajaran islam
membuat baju bodo menjadi asing dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan.
Kontroversi ini kemudian disikapi bijak oleh kerajaan Gowa, hingga muncullah
modifikasi BAJU BODO yang dikenal Baju Labbu(serupa
dengan BAJU BODO, tetapi lebih tebal, gombrang, panjang hingga
lutut). Perlahan, BAJU BODO yang semula tipis berubah menjadi
lebih tebal dan terkesan kaku. Jika pada awalnya memakai kain muslin (kain
sejenis kasa), berikutnya BAJU BODO dibuat dengan bahan benang
sutera Bagi golongan agamawan, adanya baju labbu ini adalah
solusi terbaik, tidak melanggar hukum Islam dan juga tidak menghilangkan nilai
adat. Maka, saat bermunculan BAJU BODO dengan berbagai
model dan variasi, seperti yang terjadi saat ini, itulah bentuk konstruksi
budaya manusia Bugis-Makassar saat ini. Kombinasi dan variasi BAJU BODO
yang ada saat ini, terbukti mampu diterima oleh berbagai kalangan dan lapisan
masyarakat. BAJU BODO tidak lagi sekedar pakaian adat, melainkan
dapat dipakai diacara resmi, bahkan busana kerja.
asal usul baju 'bodo'
Sejarah Baju Bodo adalah pakaian tradisional perempuan Makassar. Dalam suku
Bugis baju ini disebut Waju Tokko. Baju Bodo berbentuk segi empat, biasanya
berlengan pendek, yaitu setengah atas bagian siku lengan. Dalam bahasa
Makassar, kata “Bodo” berarti pendek. Baju Bodo atau Waju Tokko, sudah dikenal
oleh masyarakat Sulawesi Selatan sejak pertengahan abad IX (pen), hal ini
diperkuat dari sejarah kain Muslin, kain yang digunakan sebagai bahan dasar
Baju Bodo itu sendiri. Kain Muslin adalah lembaran kain hasil tenunan dari
pilinan kapas yang dijalin dengan benang katun. Memiliki rongga dan kerapatan
benang yang renggang menjadikan kain Muslin sangat cocok untuk daerah tropis dan
daerah beriklim kering. Kain Muslin (Eropa) atau Maisolos (Yunani Kuno),
Masalia (India Timur) dan Ruhm (Arab), tercatat pertama kali dibuat dan
diperdagangkan di kota Dhaka, Bangladesh, hal ini merujuk pada catatan seorang
pedagang Arab bernama Sulaiman pada abad IX. Sementara Marco Polo pada tahun
1298 Masehi, dalam bukunya The Travel of Marco Polo, menjelaskan bahwa kain
Muslin itu dibuat di Mosul (Irak) dan dijual oleh pedagang yang disebut
“Musolini”. Uniknya, masyarakat Sulawesi Selatan sudah lebih dulu mengenal dan
mengenakan jenis kain ini dibanding masyarakat Eropa, yang baru mengenalnya
pada abad XVII dan baru populer di Perancis pada abad XVIII.
Sehingga tidak janggal jika pada tahun 1930-an, masih banyak ditemui
perempuan Bugis- Makassar memakai Baju Bodo/Waju Tokko tanpa memakai penutup
dada. Masuknya Islam dan Munculnya Baju La’bu Meski ajaran agama Islam sudah
mulai menyebar dan dipelajari oleh masyarakat di Sulawesi sejak abad ke-5,
namun secara resmi baru diterima sebagai agama kerajaan pada abad ke-17.
Pergerakan DII/TII di Sulawesi juga berpengaruh besar pada perkembangan Baju
Bodo saat itu. Ketatnya larangan kegiatan dan pesta adat oleh DII/TII, membuat
Baju Bodo menjadi asing dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Larangan ini
muncul mengingat penerapan syariat Islam yang diusung oleh pergerakan DII/TII.
Tak pelak, pelarangan ini menjadi isu besar dikalangan para pelaku adat dan
agamawan.
Dalam ajaran agama Islam ditegaskan bahwa, pakaian yang dibenarkan adalah
pakaian yang menutup aurat, tidak menampakkan lekuk tubuh dan rona kulit selain
telapak tangan dan wajah. Kontroversi ini kemudian disikapi bijak oleh kerajaan
Gowa, hingga muncullah modifikasi baju bodo yang dikenal dengan nama Baju La’bu
(serupa dengan Baju Bodo, tetapi lebih tebal, gombrang, panjang hingga lutut)
Perlahan, Baju Bodo/Waju Tokko yang semula tipis berubah menjadi lebih tebal
dan terkesan kaku. Jika pada awalnya memakai kain muslin, berikutnya baju ini
dibuat dengan bahan benang sutera. Bagi golongan agamawan, adanya Baju La’bu
ini adalah solusi terbaik, tidak melanggar hukum Islam dan juga tidak
menghilangkan nilai adat.
Warna dan Arti Menurut adat Bugis, setiap warna Waju Tokko yang dipakai
oleh perempuan Bugis menunjukkan usia ataupun martabat pemakainya. Anak dibawah
10 tahun memakai Waju Tokko yang disebut Waju Pella-Pella (kupu-kupu), berwarna
kuning gading (maridi) sebagai pengambaran terhadap dunia anak kecil yang penuh
keriangan. Warna ini adalah analogi agar sang anak cepat matang dalam
menghadapi tantangan hidup. Umur 10-14 tahun memakai Waju Tokko berwarna jingga
atau merah muda. Warna merah muda dalam bahasa Bugis disebut Bakko, adalah
representasi dari kata Bakkaa, yang berarti setengah matang. Umur 14-17 tahun,
masih memakai Waju Tokko berwarna jingga atau merah muda, tapi dibuat berlapis/
bersusun dua, hal ini dikarenakan sang gadis sudah mulai tumbuh payudaranya.
Baju bodo Juga dipakai oleh mereka yang sudah menikah tapi belum memiliki
anak. Umur 17-25 tahun memakai Waju Tokko berwarna merah darah, berlapis/
bersusun. Dipakai oleh perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak, berasal
dari filosofi, bahwa sang perempuan tadi dianggap sudah mengeluarkan darah dari
rahimnya yang berwarna merah. Umur 25-40 tahun memakai Waju Tokko berwarna
hitam. Waju Tokko berwarna putih digunakan oleh para inang/pengasuh raja atau
para dukun atau bissu. Para bissu memiliki titisan darah berwarna putih, inilah
yang mengantarkan mereka mampu menjadi penghubung dengan Botting Langi
(khayangan), peretiwi (dunia nyata), dan ale kawa(dunia roh). Mereka dipercaya
tidak memiliki alat kelamin, sehingga terlepas dari kepentingan syahwat.
Para putri raja, bangsawan dan keturunannya yang dalam bahasa Bugis disebut
maddara takku (berdarah bangsawan) memakai Waju Tokko berwarna hijau. Dalam
bahasa Bugis, warna hijau disebut kudara, yang berasal dari kata na-takku
dara-na, yang secara harfiah berarti “mereka yang menjunjung tinggi harkat
kebangsawanannya.” Waju Tokko berwarna ungu dipakai oleh para janda. Dalam
bahasa Bugis, warna ungu disebut kemummu yang juga dapat berarti lebamnya
bagian tubuh yang terkena pukulan atau benturan benda keras. Dalam pranata
sosial masyarakat Bugis jaman dahulu, menikah dengan seorang janda merupakan
sebuah aib. Cara Pakai dan Aksesoris Cara memakai Baju Bodo/Waju Tokko sangat
mudah, layaknya seperti memakai t-shirt. Baju Bodo/Waju Tokko dikenakan dengan
menggunakan bawahan Lipa’ Sa’be (sarung sutera) yang bermotif kotak- kotak
cerah. Lipa’ Sa’be dipakai seperti memakai sarung yang kadang diperkuat dengan
tali atau ikat pinggang agar tidak melorot. Pada bagian pinggang, Baju
Bodo/Waju Tokko dibiarkan menjuntai menutupi ujung sarung bagian atas. Si
pemakai biasanya memegang salah satu ujung baju bodo lalu disampirkan di
lengan. Sebagai aksesoris, ditambahkan kalung, gelang panjang, anting, dan
bando atau tusuk konde di kepala. Ada pula yang menambahkan bunga sebagai
penghias di rambut. Selain untuk acara adat seperti upacara pernikahan, Baju
Bodo/Waju Tokko saat ini juga dipakai untuk menyambut tamu agung dan acara
lainnya seperti menari.
Dalam kitab
Patuntung, ada aturan yang menyebutkan penggunaan warna khusus bagi tingkatan
usia wanita yang akan mengenakan baju dodo ini. Aturan warna tersebut antara
lain:
·
1. Warna jingga
dipakai oleh perempuan umur kurang dari 10 tahun.
2. Warna jingga
dan merah darah dipakai oleh perempuan umur 10 hingga 14 tahun.
·
3. Warna merah
darah dipakai oleh untuk 17 hingga 25 tahun.
·
4. Warna putih
dipakai oleh para inang dan dukun. Warna hijau dipakai oleh puteri bangsawan.
·
5. Warna ungu
dipakai oleh para janda.
CONTOH GAMBAR BAJU BODO
Makasih informasinya 😀
BalasHapusMakasih informasinya 😀
BalasHapusThank infonya ^_^
BalasHapusthanks for you information :*
BalasHapus