Selasa, 21 November 2017

Makam Sultan Hasanuddin



Makam Sultan Hasanuddin

Makam Sultan Hasanuddin , obyek wisata sejarah terletak di komplek pemakaman raja-raja Gowa di Katangka Somba Opu Gowa Sulawesi Selatan. Di tempat yang sama dimakamkan pula Sultan Alauddin (Raja yang mengembangkan agama Islam pertama di Kerajaan Gowa) dan disebelah kiri depan komplek makam, terdapat lokasi tempat pelantikan raja Gowa yang bernama Batu Pallantikan. Akses ke kawasan Makam Sultan Hasanuddin sangat dekat dari Kota Makassar ,menggunakan kendaraan darat 30 menit
Makam Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1629 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 ) adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur. Ia dimakamkan di Katangka, Makassar.
Diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973, tanggal 6 November 1973.
Sultan Hasanuddin putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Gowa merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.
Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni.
Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670.
Sultan Hasanuddin lahir tahun 1629, menjadi raja tahun 1652, meletakkan jabatan tahun 1668 dan wafat tanggal 12 Juni 1670. ( catatan di Makam Sultan Hasanuddin) ,Dimakamnya jg tertera nama Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe Mohammad Bakir yang merupakan nama kecil Sultan Hasanuddin
Makam Sultan Hasanuddin Gowa di puncak bukit terbuka Tamalate yang ada dari Kelurahan Katangka, Somba Opu, Kabupaten Gowa. Kompleks makam yang cukup luas itu berjarak hanya sekitar 10 menit dari kompleks Makam Arung Palakka.
Makam Sultan Hasanuddin, Pahlawan Nasional karena peranannya dalam berperang melawan tentara Belanda, berada di tempat terbuka tanpa cungkup dalam deretan makam Raja-Raja Gowa lainnya. Saat itu menjelang tengah hari dan tak terlihat ada orang yang berjaga di makam.
Kompleks makam Raja-Raja Gowa ini ada dua bagian yang dipisahkan oleh sebuah pendopo. Hanya beberapa pohon berukuran sedang yang ada di sekitar makam, dan tidak cukup rindang untuk memberi perlindungan bagi pengunjung terhadap sengat matahari Sulawesi Selatan yang tidak memiliki belas kasihan.
makam sultan hasanuddin gowa

Pemandangan pada jalan masuk menuju ke dalam kompleks Makam Sultan Hasanuddin Gowa, dengan tengara makam di bagian depan luar, dan bangunan pendopo cukup besar terlihat di latar belakang foto. Di dalam pendopo itu ada sebuah patung Sultan Hasanuddin, serta lukisan potretnya yang digantungkan pada dinding ruangan yang cukup tinggi.
Di pinggir kiri luar kompleks makam terdapat batu Tomanurung atau Batu Pallantikan, tempat Raja-Raja Gowa mengambil sumpah. Sultan Hasanuddin dinobatkan ketika berusia 22 tahun, menggantikan ayahnya yang bernama Sultan Malikussaid. Ibundanya, I Sabbe Lokmo Daeng Takontu, berasal dari keluarga kerajaan di Laikang.
makam sultan hasanuddin gowa

Patung Sultan Hasanuddin, dengan makam Raja-Raja Gowa terlihat di belakangnya. Patung itu diletakkan di bangunan utama yang di tengah kompleks makam. Sultan Hasanuddin, yang juga dikenal sebagai Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape, adalah Raja Gowa XVI, dan merupakan raja yang paling dikenal luas di luar wilayah Sulawesi Selatan.
Sultan Hasanuddin lahir pada 1629, turun tahta pada 1668 dan wafat 1670. Ia mendapat gelar Pahlawan Nasional pada 16 November 1973. Makam Sultan Alauddin, Raja Gowa XIV, dengan lorong persegi di dasarnya, ada di dalam kompleks makam ini. Sultan Alauddin adalah Raja Gowa yang berperan besar dalam penyebaran ajaran Islam di Kerajaan Gowa.
makam sultan hasanuddin gowa

Bendera Merah Putih berkibar di kompleks Makam Sultan Hasanuddin Gowa yang hampir semua kijingnya dibuat dari batu yang unik dan megah. Pada 1654, ia mengirim armada tempur berkekuatan 100 kapal untuk membantu rakyat Maluku melawan armada Belanda di bawah komando De Vlamingh Van Oudshoorn. Pertempuran besar ini dikenal sebagai Perang Hongi.
Pada tahun 1655, kembali kedudukan Belanda di Buton diserang oleh pasukan sang Sultan yang akhirnya berhasil membebaskan Buton dan Tobea dari tangan Belanda. Pada tahun 1660, armada Gowa kembali berperang melawan 22 kapal perang Belanda yang berkekuatan 1.764 orang di bawah komando John Van Dam yang datang dari Batavia.
makam sultan hasanuddin gowa
Makam Sultan Hasanuddin Gowa ini berada di sekitar bagian tengah kompleks makam, dengan sebuah patung ayam jantan bertengger di atas makamnya. Sultan Hasanuddin memang dikenal sebagai raja dengan julukan Ayam Jantan dari Timur, untuk menghormati keberanian dan kegigihannya dalam melawan hegemoni Belanda.
Pada Juli 1667, Gowa diserang dengan hebat oleh armada laut Belanda di bawah pimpinan Speelman, yang mendapat dukungan raja-raja Ternate, Tidore, Bacan, Buton dan Bone dalam perang darat yang dahsyat. Ketika terdesak hebat, Perjanjian Bungaya pun terpaksa ditandatangani pada 18 November 1667, untuk mencegah korban yang lebih besar.
Perjanjian Bungaya mengakhiri dominasi kekuasaan Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Demikianlah, kita mesti belajar dari sejarah, bahwa konflik diantara pusat kekuasaan hanya akan menguntungkan kekuatan asing yang akan menjadi penguasa sesungguhnya. Mereka yang tidak belajar dari kesalahan masa lalu akan cenderung mengulanginya, sering dengan cara yang lebih buruk.

Lokasi Makam Sultan Hasanuddin Gowa

Alamat: Puncak bukit Tamalate, Kelurahan Katangka, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Lokasi GPS -5.192501, 119.451835, Waze. Jam buka sepanjang hari. Harga tiket masuk gratis. Terdekat: Makam Arung Palakka, Museum Balla Lompoa, Peta Wisata Makassar. Galeri (21 foto): 1. Jalan Masuk s/d 21. Belakang Area.



Dalam kitab Patuntung, ada aturan yang menyebutkan penggunaan warna khusus bagi tingkatan usia wanita yang akan mengenakan baju dodo ini. Aturan warna tersebut antara lain:
·         Warna jingga dipakai oleh perempuan umur kurang dari 10 tahun.
·         Warna jingga dan merah darah dipakai oleh perempuan umur 10 hingga 14 tahun.
·         Warna merah darah dipakai oleh untuk 17 hingga 25 tahun.
·         Warna putih dipakai oleh para inang dan dukun. Warna hijau dipakai oleh puteri bangsawan.
·         Warna ungu dipakai oleh para janda.
Makam Sultan Hasanuddin
Makam Sultan Hasanuddin , obyek wisata sejarah terletak di komplek pemakaman raja-raja Gowa di Katangka Somba Opu Gowa Sulawesi Selatan. Di tempat yang sama dimakamkan pula Sultan Alauddin (Raja yang mengembangkan agama Islam pertama di Kerajaan Gowa) dan disebelah kiri depan komplek makam, terdapat lokasi tempat pelantikan raja Gowa yang bernama Batu Pallantikan. Akses ke kawasan Makam Sultan Hasanuddin sangat dekat dari Kota Makassar ,menggunakan kendaraan darat 30 menit
Makam Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1629 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 ) adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur. Ia dimakamkan di Katangka, Makassar.
Diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973, tanggal 6 November 1973.
Sultan Hasanuddin putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Gowa merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.
Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni.
Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670.
Sultan Hasanuddin lahir tahun 1629, menjadi raja tahun 1652, meletakkan jabatan tahun 1668 dan wafat tanggal 12 Juni 1670. ( catatan di Makam Sultan Hasanuddin) ,Dimakamnya jg tertera nama Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe Mohammad Bakir yang merupakan nama kecil Sultan Hasanuddin
Makam Sultan Hasanuddin Gowa di puncak bukit terbuka Tamalate yang ada dari Kelurahan Katangka, Somba Opu, Kabupaten Gowa. Kompleks makam yang cukup luas itu berjarak hanya sekitar 10 menit dari kompleks Makam Arung Palakka.
Makam Sultan Hasanuddin, Pahlawan Nasional karena peranannya dalam berperang melawan tentara Belanda, berada di tempat terbuka tanpa cungkup dalam deretan makam Raja-Raja Gowa lainnya. Saat itu menjelang tengah hari dan tak terlihat ada orang yang berjaga di makam.
Kompleks makam Raja-Raja Gowa ini ada dua bagian yang dipisahkan oleh sebuah pendopo. Hanya beberapa pohon berukuran sedang yang ada di sekitar makam, dan tidak cukup rindang untuk memberi perlindungan bagi pengunjung terhadap sengat matahari Sulawesi Selatan yang tidak memiliki belas kasihan.
makam sultan hasanuddin gowa

Pemandangan pada jalan masuk menuju ke dalam kompleks Makam Sultan Hasanuddin Gowa, dengan tengara makam di bagian depan luar, dan bangunan pendopo cukup besar terlihat di latar belakang foto. Di dalam pendopo itu ada sebuah patung Sultan Hasanuddin, serta lukisan potretnya yang digantungkan pada dinding ruangan yang cukup tinggi.
Di pinggir kiri luar kompleks makam terdapat batu Tomanurung atau Batu Pallantikan, tempat Raja-Raja Gowa mengambil sumpah. Sultan Hasanuddin dinobatkan ketika berusia 22 tahun, menggantikan ayahnya yang bernama Sultan Malikussaid. Ibundanya, I Sabbe Lokmo Daeng Takontu, berasal dari keluarga kerajaan di Laikang.
makam sultan hasanuddin gowa

Patung Sultan Hasanuddin, dengan makam Raja-Raja Gowa terlihat di belakangnya. Patung itu diletakkan di bangunan utama yang di tengah kompleks makam. Sultan Hasanuddin, yang juga dikenal sebagai Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape, adalah Raja Gowa XVI, dan merupakan raja yang paling dikenal luas di luar wilayah Sulawesi Selatan.
Sultan Hasanuddin lahir pada 1629, turun tahta pada 1668 dan wafat 1670. Ia mendapat gelar Pahlawan Nasional pada 16 November 1973. Makam Sultan Alauddin, Raja Gowa XIV, dengan lorong persegi di dasarnya, ada di dalam kompleks makam ini. Sultan Alauddin adalah Raja Gowa yang berperan besar dalam penyebaran ajaran Islam di Kerajaan Gowa.
makam sultan hasanuddin gowa

Bendera Merah Putih berkibar di kompleks Makam Sultan Hasanuddin Gowa yang hampir semua kijingnya dibuat dari batu yang unik dan megah. Pada 1654, ia mengirim armada tempur berkekuatan 100 kapal untuk membantu rakyat Maluku melawan armada Belanda di bawah komando De Vlamingh Van Oudshoorn. Pertempuran besar ini dikenal sebagai Perang Hongi.
Pada tahun 1655, kembali kedudukan Belanda di Buton diserang oleh pasukan sang Sultan yang akhirnya berhasil membebaskan Buton dan Tobea dari tangan Belanda. Pada tahun 1660, armada Gowa kembali berperang melawan 22 kapal perang Belanda yang berkekuatan 1.764 orang di bawah komando John Van Dam yang datang dari Batavia.
makam sultan hasanuddin gowa
Makam Sultan Hasanuddin Gowa ini berada di sekitar bagian tengah kompleks makam, dengan sebuah patung ayam jantan bertengger di atas makamnya. Sultan Hasanuddin memang dikenal sebagai raja dengan julukan Ayam Jantan dari Timur, untuk menghormati keberanian dan kegigihannya dalam melawan hegemoni Belanda.
Pada Juli 1667, Gowa diserang dengan hebat oleh armada laut Belanda di bawah pimpinan Speelman, yang mendapat dukungan raja-raja Ternate, Tidore, Bacan, Buton dan Bone dalam perang darat yang dahsyat. Ketika terdesak hebat, Perjanjian Bungaya pun terpaksa ditandatangani pada 18 November 1667, untuk mencegah korban yang lebih besar.
Perjanjian Bungaya mengakhiri dominasi kekuasaan Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Demikianlah, kita mesti belajar dari sejarah, bahwa konflik diantara pusat kekuasaan hanya akan menguntungkan kekuatan asing yang akan menjadi penguasa sesungguhnya. Mereka yang tidak belajar dari kesalahan masa lalu akan cenderung mengulanginya, sering dengan cara yang lebih buruk.

Lokasi Makam Sultan Hasanuddin Gowa

Alamat: Puncak bukit Tamalate, Kelurahan Katangka, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Lokasi GPS -5.192501, 119.451835, Waze. Jam buka sepanjang hari. Harga tiket masuk gratis. Terdekat: Makam Arung Palakka, Museum Balla Lompoa, Peta Wisata Makassar. Galeri (21 foto): 1. Jalan Masuk s/d 21. Belakang Area.

Baju Bodo


BAJU BODO

SEJARAH BAJU BODO ( Salah Satu Baju Tertua di Dunia) 

BAJU BODO merupakan PAKAIAN TRADISIONAL perempuan bugis , Sulawesi Selatan Indonesia dan  merupakan salah satu baju tertua di Dunia ( sekali lagi kita boleh bangga dong..). Baju yang berbentuk persegiempat dan berongga besar pada lengannya ini, terbuat dari kain MUSLIN, yang merupakan hasil tenunan dari pilinan kapas yang ditenun dengan benang katun. Bentuk BAJU BODO sendiri  berbentuk baju kurung tanpa jahitan, bagian bawah terbuka, bagian atas berlubang seukuran kepala tanpa kerah. Bagian depan tidak memiliki kancing atau perekat lainnya, pada ujung atas sebelah kiri dan kanan dibuat lubang selebar satu jengkal. Lubang tersebut berfungsi sebagai lubang keluar masuknya lengan. Atas dasar inilah maka baju ini kemudian disebut sebagai baju Pokko, baju yang tidak memiliki lengan. Pada perkembengan berikutnya kata pokko berubah menjadi tokko.
Dalam versi lain,SEJARAH BAJU BODO disebutkan kata "TOKKO berasal dari kata takku, kata takku sendiri adalah ungkapan untuk menyatakan starata sosial bangsawan. Hal ini menilik pada kata Maddara Takku, yang menunjukkan seseorang yang memiliki darah keturunan bangsawan. Secara harafiah, baju tokko bisa diartikan sebagai baju untuk kaum bangsawan.
Berdasarkan catatan SEJARAH, yakni dalam catatan perjalanan seorang pedagang Arab pada abad ke IX, kain Muslin ini pertama kali dibuat dan diperdagangkan di kota Dhaka, Bangladesh. Di Yunani Kuno, kain ini dikenal dengan sebutan Maisolos, di India Timur dikenal dengan sebutan Masalia, dan di Arab dikenal dengan Ruhm. Pada tahun 1298 Masehi dalam bukunya The Travel of Marco Polo  menggambarkan kain muslin itu dibuat di Mosul, (Irak) dan dijual oleh pedagang yang disebut “Musolini”. Uniknya, masyarakat Sulawesi Selatan lebih dulu mengenal dan mengenakan jenis kain ini dibanding masyarakat Eropa, yang baru mengenalnya para XVII dan baru popular di Prancis pada abad XVIII.
Pada awal munculnya, BAJU BODO tidaklah lebih dari baju tipis dan longgar sebagaimana karakter kain Muslin. Tampilan BAJU BODO masih transparan sehingga masih menampakkan payudara, pusar dan lekuk tubuh pemakainya. Hal ini diperkuat oleh James Brooke dalam bukunya Narrative of Events, sebagaimna dikutip Christian Pelras dalam Manusia Bugis, mengatakan ;
“Perempuan [Bugis] mengenakan pakaian sederhana… Sehelai sarung [menutupi pinggang] hingga kaki dan baju tipis longgar dari kain muslin (kasa), memperlihatkan payudara dan leluk-lekuk dada.” 
Pada awal abad ke-19, Don Lopez comte de Paris, seorang pembantu setia Gubernur Jenderal Deandels memperkenalkan penutup dada yang dalam bahasa Indonesia disebut “Kutang” pada perempuan Jawa, namun sayang kutang ini belum populer di tanah Bugis-Makassar. Sehingga tidak janggal jika pada tahun 1930-an, masih banyak ditemui perempuan Bugis-Makassar memakai BAJU BODO/WAJU TAKKU tanpa memakai penutup dada. 

KONTROVERSIAL BAJU BODO

Ajaran agama Islam mulai menyebar dan dipelajari masyarakat di Sulawesi sejak Abad ke-V, namun secara resmi baru diterima sebagai agama kerajaan pada abad XVII. Ketatnya larangan kegiatan dan pesta adat menurut ajaran islam membuat baju bodo menjadi asing dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Kontroversi ini kemudian disikapi bijak oleh kerajaan Gowa, hingga muncullah modifikasi BAJU BODO yang dikenal Baju Labbu(serupa dengan BAJU BODO, tetapi lebih tebal, gombrang, panjang hingga lutut). Perlahan, BAJU BODO yang semula tipis berubah menjadi lebih tebal dan terkesan kaku. Jika pada awalnya memakai kain muslin (kain sejenis kasa), berikutnya BAJU BODO dibuat dengan bahan benang sutera Bagi golongan agamawan, adanya baju labbu ini adalah solusi terbaik, tidak melanggar hukum Islam dan juga tidak menghilangkan nilai adat. Maka, saat bermunculan BAJU BODO dengan berbagai model dan variasi, seperti yang terjadi saat ini, itulah bentuk konstruksi budaya manusia Bugis-Makassar saat ini. Kombinasi dan variasi BAJU BODO yang ada saat ini, terbukti mampu diterima oleh berbagai kalangan dan lapisan masyarakat. BAJU BODO tidak lagi sekedar pakaian adat, melainkan dapat dipakai diacara resmi, bahkan busana kerja.

asal usul baju 'bodo'

Sejarah Baju Bodo adalah pakaian tradisional perempuan Makassar. Dalam suku Bugis baju ini disebut Waju Tokko. Baju Bodo berbentuk segi empat, biasanya berlengan pendek, yaitu setengah atas bagian siku lengan. Dalam bahasa Makassar, kata “Bodo” berarti pendek. Baju Bodo atau Waju Tokko, sudah dikenal oleh masyarakat Sulawesi Selatan sejak pertengahan abad IX (pen), hal ini diperkuat dari sejarah kain Muslin, kain yang digunakan sebagai bahan dasar Baju Bodo itu sendiri. Kain Muslin adalah lembaran kain hasil tenunan dari pilinan kapas yang dijalin dengan benang katun. Memiliki rongga dan kerapatan benang yang renggang menjadikan kain Muslin sangat cocok untuk daerah tropis dan daerah beriklim kering. Kain Muslin (Eropa) atau Maisolos (Yunani Kuno), Masalia (India Timur) dan Ruhm (Arab), tercatat pertama kali dibuat dan diperdagangkan di kota Dhaka, Bangladesh, hal ini merujuk pada catatan seorang pedagang Arab bernama Sulaiman pada abad IX. Sementara Marco Polo pada tahun 1298 Masehi, dalam bukunya The Travel of Marco Polo, menjelaskan bahwa kain Muslin itu dibuat di Mosul (Irak) dan dijual oleh pedagang yang disebut “Musolini”. Uniknya, masyarakat Sulawesi Selatan sudah lebih dulu mengenal dan mengenakan jenis kain ini dibanding masyarakat Eropa, yang baru mengenalnya pada abad XVII dan baru populer di Perancis pada abad XVIII.
Sehingga tidak janggal jika pada tahun 1930-an, masih banyak ditemui perempuan Bugis- Makassar memakai Baju Bodo/Waju Tokko tanpa memakai penutup dada. Masuknya Islam dan Munculnya Baju La’bu Meski ajaran agama Islam sudah mulai menyebar dan dipelajari oleh masyarakat di Sulawesi sejak abad ke-5, namun secara resmi baru diterima sebagai agama kerajaan pada abad ke-17. Pergerakan DII/TII di Sulawesi juga berpengaruh besar pada perkembangan Baju Bodo saat itu. Ketatnya larangan kegiatan dan pesta adat oleh DII/TII, membuat Baju Bodo menjadi asing dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Larangan ini muncul mengingat penerapan syariat Islam yang diusung oleh pergerakan DII/TII. Tak pelak, pelarangan ini menjadi isu besar dikalangan para pelaku adat dan agamawan.
Dalam ajaran agama Islam ditegaskan bahwa, pakaian yang dibenarkan adalah pakaian yang menutup aurat, tidak menampakkan lekuk tubuh dan rona kulit selain telapak tangan dan wajah. Kontroversi ini kemudian disikapi bijak oleh kerajaan Gowa, hingga muncullah modifikasi baju bodo yang dikenal dengan nama Baju La’bu (serupa dengan Baju Bodo, tetapi lebih tebal, gombrang, panjang hingga lutut) Perlahan, Baju Bodo/Waju Tokko yang semula tipis berubah menjadi lebih tebal dan terkesan kaku. Jika pada awalnya memakai kain muslin, berikutnya baju ini dibuat dengan bahan benang sutera. Bagi golongan agamawan, adanya Baju La’bu ini adalah solusi terbaik, tidak melanggar hukum Islam dan juga tidak menghilangkan nilai adat.
Warna dan Arti Menurut adat Bugis, setiap warna Waju Tokko yang dipakai oleh perempuan Bugis menunjukkan usia ataupun martabat pemakainya. Anak dibawah 10 tahun memakai Waju Tokko yang disebut Waju Pella-Pella (kupu-kupu), berwarna kuning gading (maridi) sebagai pengambaran terhadap dunia anak kecil yang penuh keriangan. Warna ini adalah analogi agar sang anak cepat matang dalam menghadapi tantangan hidup. Umur 10-14 tahun memakai Waju Tokko berwarna jingga atau merah muda. Warna merah muda dalam bahasa Bugis disebut Bakko, adalah representasi dari kata Bakkaa, yang berarti setengah matang. Umur 14-17 tahun, masih memakai Waju Tokko berwarna jingga atau merah muda, tapi dibuat berlapis/ bersusun dua, hal ini dikarenakan sang gadis sudah mulai tumbuh payudaranya. Baju bodo  Juga dipakai oleh mereka yang sudah menikah tapi belum memiliki anak. Umur 17-25 tahun memakai Waju Tokko berwarna merah darah, berlapis/ bersusun. Dipakai oleh perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak, berasal dari filosofi, bahwa sang perempuan tadi dianggap sudah mengeluarkan darah dari rahimnya yang berwarna merah. Umur 25-40 tahun memakai Waju Tokko berwarna hitam. Waju Tokko berwarna putih digunakan oleh para inang/pengasuh raja atau para dukun atau bissu. Para bissu memiliki titisan darah berwarna putih, inilah yang mengantarkan mereka mampu menjadi penghubung dengan Botting Langi (khayangan), peretiwi (dunia nyata), dan ale kawa(dunia roh). Mereka dipercaya tidak memiliki alat kelamin, sehingga terlepas dari kepentingan syahwat.
Para putri raja, bangsawan dan keturunannya yang dalam bahasa Bugis disebut maddara takku (berdarah bangsawan) memakai Waju Tokko berwarna hijau. Dalam bahasa Bugis, warna hijau disebut kudara, yang berasal dari kata na-takku dara-na, yang secara harfiah berarti “mereka yang menjunjung tinggi harkat kebangsawanannya.” Waju Tokko berwarna ungu dipakai oleh para janda. Dalam bahasa Bugis, warna ungu disebut kemummu yang juga dapat berarti lebamnya bagian tubuh yang terkena pukulan atau benturan benda keras. Dalam pranata sosial masyarakat Bugis jaman dahulu, menikah dengan seorang janda merupakan sebuah aib. Cara Pakai dan Aksesoris Cara memakai Baju Bodo/Waju Tokko sangat mudah, layaknya seperti memakai t-shirt. Baju Bodo/Waju Tokko dikenakan dengan menggunakan bawahan Lipa’ Sa’be (sarung sutera) yang bermotif kotak- kotak cerah. Lipa’ Sa’be dipakai seperti memakai sarung yang kadang diperkuat dengan tali atau ikat pinggang agar tidak melorot. Pada bagian pinggang, Baju Bodo/Waju Tokko dibiarkan menjuntai menutupi ujung sarung bagian atas. Si pemakai biasanya memegang salah satu ujung baju bodo lalu disampirkan di lengan. Sebagai aksesoris, ditambahkan kalung, gelang panjang, anting, dan bando atau tusuk konde di kepala. Ada pula yang menambahkan bunga sebagai penghias di rambut. Selain untuk acara adat seperti upacara pernikahan, Baju Bodo/Waju Tokko saat ini juga dipakai untuk menyambut tamu agung dan acara lainnya seperti menari.

Dalam kitab Patuntung, ada aturan yang menyebutkan penggunaan warna khusus bagi tingkatan usia wanita yang akan mengenakan baju dodo ini. Aturan warna tersebut antara lain:
·         1. Warna jingga dipakai oleh perempuan umur kurang dari 10 tahun.
2. Warna jingga dan merah darah dipakai oleh perempuan umur 10 hingga 14 tahun.
·         3. Warna merah darah dipakai oleh untuk 17 hingga 25 tahun.
·         4. Warna putih dipakai oleh para inang dan dukun. Warna hijau dipakai oleh puteri bangsawan.
·         5. Warna ungu dipakai oleh para janda.

 
CONTOH GAMBAR BAJU BODO